Monday, January 28, 2008

Cerpen_Sita

SITA

Namanya Sita. Suatu kali aku pernah memperkosanya, memburu nafasnya yang wangi dan menggairahkan. Ia tidak marah. Ia malah minta lagi.
Lagi? Mataku terbelalak. Sarafku mengeras di atas dipan kasur di mana tubuhnya yang bagus tergolek. Aku baru saja hendak melarikan diri setelah terlebih dulu memukul batok sarafnya. Biar dia tak bersuara. Syukur dia tidak mati, pasti gila. Orang gila tak ada yang percaya omongannya, kecuali para pelanggan togel.
Sebenarnya ia tak begitu cantik, tapi kenes dan karena itulah ia jadi menarik perhatian banyak laki-laki. Goyang pinggulnya sedap langit.
“Sudah empat puluh lelaki ditidurinya. Semuanya orang sini, sebagian sudah beristri !” bisik Ucha, temanku yang rupanya pernah juga kebagian ditidurinya.
Aku tak percaya.
“Dia sendiri yang ngaku. Katanya...”
“Ssst...!” Aku memotong. Wangi kutangnya sudah semakin dekat.
Dia menyapa kami. Tapi kurasa dia hanya menyapaku. Senyumnya tumpah bersama angin, memburuku, memburu kelewang yang berkejaran, mengendap-endap di tebing-tebing yang sepi dan gelap.
“Ke pasar, Sit? Mau diantar ?” Ucha menawarkan. Sebenarnya bukan tumpangan cuma-Cuma. Ia cuma seorang tukang ojeg motor, sama sepertiku.
Matahari bulat penuh menggantung di langit. Sudah sedikit bergeser ke arah Barat. Langit penuh layang-layang beraneka warna, beradu, dan saling memutuskan. Burung-burung kecil berterbangan di sela-sela daun. Saling mengejar dan bercinta.
Aku mengantarnya sampai rumah di mana ia biasa tinggal. Ia tidak setiap waktu tinggal di situ. Selalu berpindah-pindah. Hampir setiap rumah di kampung ini adalah rumahnya. Dan ia biasa menginap di rumah yang satu ke rumah lain. Semua orang menerimanya. Semua rumah menyukai kehadirannya.
Padahal dia tak lebih dari seorang pelacur. Sungguh, aku juga mengherankannya. Tapi sepertinya Cuma aku yang bertanya-tanya. Cuma aku yang mengherankannya. Orang–orang menganggapnya biasa.
“Main, yuk !” bisiknya manja di dekat telingaku. Matanya nakal. Tangannya mencolek resluiting celanaku.
###
Namanya Sita. Usianya belum genap dua puluh dua. Tapi kekenesannya, kerdipan matanya, sanggup meruntuhkan tembok-tembok syahwati.
Istri-istri yang suaminya pernah tidur dengannya tak ada yang marah. Pura-pura tidak tahu. Malah sambil berbisik mereka membicarakannya dengan para tetangga. Pengalaman baru, permainan baru. Tukar menukar pasangan seperti menukar uang kembalian.
AIDS! Ya, memang. Akhirnya bencana itu datang. Mula-mula satu orang yang diduga mengidap virus setan itu diperiksa. Hasilnya positif. Kemudian merembet ke istrinya, teman-teman dekatnya, seluruh penduduk kampung.
Semuanya positif !
Gila! Apa aku juga ?
Mula-mula aku takut memeriksanya. Tapi setelah dipaksa-paksa aku mau juga. Aku pasrah jika seandainya HIV itu berserang juga dalam tubuhku. Ternyata hasilnya negatif. Aku langsung sujud syukur. Belakangan kuketahui ternyata Sita juga tidak mengidap penyakit kutukan itu. Ia bersih. Sehat.
Aneh padahal aku dan seluruh penduduk kampung meyakininya sebagai penyebar bibit mematikan itu.
Seluruh penduduk kampung saling memaki, saling mengutuk, meski tak jelas siapa yang dimaki dan dikutuk. Mereka lantas menemui Sita hendak meminta pertanggungjawabannya.
Pertanggungjawaban macam apa? Sita tak mengerti. Mereka pun tak tahu persis pertanggungjawaban macam apa yang mereka inginkan dari Sita.

Namanya Sita. Tak ada yang tahu persis asal usul keluarganya, dari mana asalnya, juga siapa yang pertama kali memanggilnya dengan sebutan Sita. Penduduk kampung menemukannya sewaktu ia masih bayi di bawah pohon jati di dekat perkebunan.
Sejak ari-ari masih menempel di perutnya seluruhnya penduduk di kampung mengasihi dan menyayangi. Mereka bergantian menimangnya. Sita adalah bayi yang lucu dan menggemaskan. Pipinya montok, hidungnya bangir, dan matanya belo.
Sampai dia remaja dan sebesar sekarang ini seluruh penduduk kampung menyukainya. Ia orang yang rajin penurut, di samping tentu saja cakep. Ia bisa makan apa saja di tempat siapa saja sesuka hatinya. Pintu-pintu rumah menerimanya 24 jam non stop.
Dan (mungkin) untuk membalas kebaikkan mereka, Sita membiarkan para lelaki mencolek pantatnya, mengelus pinggangnya, meremas payudaranya. Bahkan kalau mereka mengajaknya tidur Sita tak menolaknya.

Sekarang aku menikahi bukan karena cinta, tetapi karena aku ingin menikah. Dia mau. Sehabis menikah kubawa ia menjauh dari kampung yang kini jadi pusat perhatian para medis yang menangani HIV, jadi perhatian LSM-LSM AIDS.
Aku membawanya terbang ke tujuh puluh lima kaki dari permukaan bumi. Kami menari-nari di awan berputar, berdansa merayakan pernikahan yang agung. Seribu malaikat ikut menari bersama kami.
“Cinta tak selamanya menjadi landasan sebuah pernikahan. Ia tidak mengikat dan terikat pada hegemoni seremonial apa pun. Cinta itu independen. Benar kan, Mas ?”
Ia pun kini mulai pintar berbicara.
Tapi kok kamu mau menikah denganku? Kamu tahu apa artinya nikah, me-ni-kah ?”
Dia meleset menjauh. Kancing-kancing bajunya dirapihkan kembali.
“Sita...!”
Dia semakin jauh. Dia di bawa angin, dimainkan kesana kemari. Angin menyikapkan roknya samapai paha. Burung-burung yang dilintasinya terkesima menyaksikan pemandangan takjub itu. Mereka memburunya. Jadilah kini pemandangan yang unik, tubuh Sita dikuntil ribuan buurung yang beraneka jenisnya. Seperti bintang berekor. Persis, seperti komet.
“Cinta itu kutu, Mas. Kutu di kepala kita. Ha ha...!”
Dia membuka sedikit demi sedikit gaunnya.
“Hidup ini pun tak lebih sekedar keluh kesah dan senggama. Berputar-berputar pada lingkaran yang sama.”
“Sita... !”
Kulihat Siat begitu bahagia. Bayang-bayang dirinya menjadi kabur dan tanda tanya. Ia sekat memisahkan hidup dan tak hidup, nyala tapi tak terang, gelap namun tak pekat.
“Aku pun sebenarnya sudah sejak lama tak mempercayai hidup, Mas. kebenaran, cinta kasih, perih, luka, asmara, rindu, seks, semua taik. Kamu juga taik !”
Sepuluh meteorit jatuh ke bumi menjadi sejarah yang tak tersisia. Gundukan tanah, doa si kecil sambil mengulum permen, jemuran kutang yang tak sedap, rumput, pohon-pohon, ciuman, tangis, dongeng, dan legenda-legenda. Tak nampak layang-layang. Sepasang burung pipit membangun saran mendekorasi surga.
“Tentang surga atau neraka, Mas, aku sendiri tidak mempercayainya. Sungguh !”
Gelombang. Semua bergelombang. Hidup ini pun tak lain adalah alunan gelombang-gelombang.
“Sita...!”
Tak jelas siapa yang memulai, aku dan Sita kini bergerumul di udara. Seperti wayang dalam lakon Arjuna mencari Cinta, tubuhku dan tubuh Sita berpelukan erat di langit, ditangkahi ribuan burung.
Berhari-hari aku dan Sita bercinta di udara. Berkali-kali sampai aku lupa. Aku menjadi lemas dan sangat kurus sekali. Selama berhari-hari aku bersama Sita tak makan apa-apa. Cuma menyusu. Menyusu lagi.
Tapi Sita tetap bugar. Tetap menggairahkan. Ia seperti iblis. Eh, salah, dia seperti...
Sita masih menantang.
Aku kembali ke bumi. Tapi Sita tidak. Sita terbang semakin tinggi.
Dan semakin tinggi.
“Sita... Istriku...!”
Sia-sia. Suaraku tenggelam kedalam tanah. Sita tak kembali. Tak pernah kembali.

Namanya Sita. Kini setelah lebih lima belas tahun berlalu, nama itu masih juga melekat di kepalaku, juga di kepala orang-orang yang sanak familinya mati akibat penyakit AIDS.
Namanya menjadi legenda. Mereka bangun mesjid Sita, Yayasan Sita, jalan Sita. Mereka namakan keturunan mereka Sita.
Mereka kultuskan Sita.
“Sita, istriku...!”
Mereka menganggapku gila.@
Tg. Priok 1999

No comments: